Berjemur di Bawah Pohon — Ringkasan Buku Japonisme

Satria A. Permana
11 min readApr 26, 2020

Kata sang penulisnya, Erin Niimi Longhurst, buku ini mengajak kita untuk menjelajahi seni orang-orang Jepang dalam mencari keadaan utuh melalui upaya hidup bahagia, bugar, dan penuh makna.

Sepertinya halaman mukanya menjanjikan. Reka gambar vektor sederhana yang melukiskan gunung Fuji dengan matahari yang sedang ingin tenggelam. Sayangnya, saat saya menulis ini, matahari masih berada di atas langit. Tulisan Japonisme dicetak tebal, paling besar, paling nampak hitam, yang menjadi identitas tekstual buku ini. Mari kita andai-andaikan sedang duduk dibawah pohon di tepi danau Kawaguchi di sore hari, memandang gagah nya Fuji dengan mega-mega yang tersapu langit keemasan.

Kokoro — Hati dan Pikiran

Dalam bahasa Jepang, ada tiga kata untuk mendeskripsikan kata “hati”. Pertama, “shinzou” adalah jantung dalam tubuh manusia yang memompa darah ke seluruh tubuh. Kedua, “ha-to” adalah serapan kata “heart” yang digunakan untuk mengungkapkan cinta. Ketiga, “kokoro” adalah paduan hati, jiwa, dan pikiran yang saling berkaitan.

Untuk membentuk Kokoro yang bercahaya, Erin menyampaikan tiga hal yang sekiranya perlu untuk dicapai, yaitu Ikigai, Wabi-sabi, dan Kintsugi. Upaya-upaya menggenggam sebuah keseimbangan dalam hidup. Meski memang tidak mudah, selalu akan ada perdebatan dalam diri tentang seberapa sempurna dan seberapa tidak sempurna hal-hal yang ingin dicapai. Maka disitulah titik keseimbangan yang perlu kita berada didalamnya.

Seseorang yang memilih tersenyum daripada menunjukkan amarah memang selalu mencuri hati. Karena dia orang yang kuat.
— pepatah orang Jepang, dengan penambahan kata.

Ikigai
Ikigai artinya adalah alasan untuk hidup. Untuk menggambarkannya, di setiap hati manusia terdapat api yang menyala dalam gelap. Api itu bercahaya dan semakin lama semakin kuat dan panas saat kita dekat dengan alasan hidup kita. Api itu menggerakkan setiap upaya kita mencari jalan yang terang. Namun, menemukan ikigai tidak dapat diperoleh begitu saja. Ia perlahan akan menunjukkan dirinya seiring berjalannya waktu. Erin-san menemukan ikigai-nya juga bukan dalam tempo yang singkat. Ada beberapa upaya yang menuntunnya menemukan ikigai yang saat ini benderang dalam dirinya, yaitu: menghargai pekerjaan, membina kasih sayang, menyayangi keluarga, merawat lingkungan, dan memeluk diri sendiri.

Wabi-sabi
Wabi-sabi artinya adalah keindahan dari ke ketidaksempurnaan dan kesementaraan. Jika kita bertanya pada orang Jepang tentang wabi-sabi, kebanyakan mereka kesusahan bagaimana mengartikannya, tetapi mereka paham betul apa itu wabi-sabi. Wabi-sabi itu seperti menerima proses menua dengan segala garis yang akan tercipta. Wabi-sabi itu seperti yang nampak apa adanya. Wabi-sabi itu seperti membuat diri kita berada di alunan melodi yang semesta ciptakan. Wabi-sabi itu seperti menerima siapa diri kita, raut wajah, hingga bekas luka yang nampak. Wabi-sabi itu membuat duka dan musibah seakang berlalu begitu saja. Mungkin, wabi-sabi itu adalah tingkatan lebih lanjut dari laku “bersyukur.”

Kintsugi
Kintsugi artinya adalah upaya mencari keindahan dalam ketidaksempurnaan. Menurut legenda, Kintsugi adalah seni untuk menyatukan keramik yang pecah dengan keramik di balur warna emas. Seakan merayakan ketidaksempurnaan dengan sesuatu yang lebih berharga. Terdapat tiga metode yang digunakan untuk mencapai karya seni Kintsugi, yaitu memperbaiki keretakan, menggantinya dengan emas, dan menambal keretakan dengan keretakan lainnya. Kintsugi mengajarkan hidup kita untuk tidak terus menerus bergantung pada pencapaian, tidak apa untuk mengalami kegagalan dan berusahalah untuk bangkit. Kintsugi juga mengajarkan kita untuk memperbaiki sesuatu yang rusak daripada menggantinya dengan yang baru. Kintsugi mengajak kita untuk merangkul luka dan hal-hal yang tidak sempurna dalam diri kita, contohnya penampilan maupun raut muka. Sepertinya ini tingkatan rasa syukur yang menyerupai wabi-sabi, namun lebih konkrit.

Luka adalah tempat dimana cahaya memasuki dirimu.
— Rumi

Karada — Tubuh

Keutuhan diri dapat kita capai dengan ritual dan latihan, dalam Islam, ibadah. Melepas perhatian yang tidak diperlukan, menaruh atensi pada diri sendiri. Bisa dari kegiatan sehari-hari yang melibatkan dirimu dan dirimu sendiri. Bukan sekedar laku fisik, namun serta merta melalui apa yang dapat kita perbuat dengan dan terhadap lingkungan sekitar.

Untuk membentuk keadaan tubuh yang bugar, baik fisik maupun mental, Erin-san menjelaskannya dengan kegiatan-kegiatan kultural yang ada di Jepang. Setiap kegiatan memiliki tujuan yang sederhana, namun memberikan timbal balik yang berpengaruh.

Shinrin-yoku
Shinrin-yoku artinya adalah dipelihara oleh alam, seringkali sebagai sebutan untuk aktivitas menyembuhkan diri dengan mandi hutan — merajut kembali hubungan dengan alam. Penelitian-penelitian menjelaskan temuan bahwa membangun kedekatan dengan alam adalah seperti terapi diri yang membuat diri menjadi lebih utuh. Dapat dimulai dari sekedar membuat kulit kita menyentuh rintik mentari pagi, membiarkan angin menyisir rambut kita, atau sekedar berjalan dibawah pohon-pohon yang berdiri beserta kicau burung-burung. Namun kenyataanya, saat ini kita merasuk terlalu jauh di tengah hutan-hutan beton yang menutup jalan masuk pohon-pohon. Bila tidak mudah menjumpai pohon, kita dapat memulainya dengan menanam pohon kecil di pot dekat jendela ruang kita.

Erin-san memiliki enam petunjuk untuk ber-Shinrin-yoku, dan saya sangat bersemangat untuk mencobanya.
1. Matikan segala perangkat elektronik dan tinggalkanlah di rumah, lantas keluarlah.
2. Tidak perlu rencanakan matang-matang rencana jalan kita hari ini, biarkan kejutan-kejutan menghampiri diri kita.
3. Berinteraksilah dengan lingkungan sekitar kita, seperti menyapa pohon atau sekedar menghitung jenis-jenisnya.
4. Jangan berisik, heninglah dan dengar alam sekitar kita.
5. Tenanglah dan letakkan segala bentuk kerisauanmu di dalam rumah.
6. Ambilah jeda atau istirahat yang cukup banyak, karena ini bukan jogging, kan kita tidak membawa perangkat perekam jejak itu.

Aku berjalan memasuki tengah hutan, dan keluar menjadi lebih tinggi daripada pepohonan.
— Henry David Thoreau

Ikebana
Ikebana adalah seni merangkai bunga, tetapi makna sesungguhnya yang mendekati adalah memberi nyawa pada bunga-bunga. Metode ikebana tidak dapat direncanakan, namun proseslah yang nanti menunjukkan hasilnya. Tentang bagaimana berdialog dengan diri, dengan bunga-bunga, dan dengan apapun yang membersamainya. Barangkali aktivitas ini juga dapat menemani kita yang berada di tengah padatnya kota dan kesulitan mengunjungi bentang alam terdekat. Penjelasan lebih lanjut tentang ikebana dapat dicari tahu melalui beragam media. Karena rasanya tidak cukup tulisan ini menjelaskan segalanya. Namun ada arahan yang dapat diikuti untuk yang ingin mencobanya, yaitu:
1. Kumpulkanlah bunga-bunga dan barang yang ingin dirupakan.
2. Memilih tempat bunga atau vas menjadi penting. Seperti proses dan capaian apa yang ingin dituju.
3. Tatalah dari batang yang paling panjang hingga yang paling pendek. Kita akan menjumpai keinginan untuk mempertahankan atau memotong beberapa bagian bunga-bunga itu.
4. Ketauilah kapan kita akan mengatakan bahwa karya kita telah selesai.

Orang-orang Jepang bilang, bunga itu indah, dan perlu ditingkatkan keindahannya.
— Lester Cole

Actually, I didn’t think this one is a proper arrangement, but I didn’t care, and said “let’s dig it!” — begitulah yang kuucapkan saat belum mengetahui ‘tabemono.’

Tabemono
Simpel, tabemono artinya adalah makan. Makan bukan sekedar untuk mengisi kosong perut, namun memberi sentuhan arti dalam setiap suap yang kita telan. Ada sebuah pepatah dari Okinawa: “Hara hachi bu”, aritnya makanlah hingga perutmu terisi 80 persen. Anjuran ini serupa dengan ajakan Rasulullah untuk berhenti makan sebelum kenyang. Memang dalam cukup banyak penelitian, orang-orang Okinawa memiliki umur yang panjang. Barangkali rahasianya ada pada bagaimana cara mereka makan, ya? Memang tidak mudah untuk menentukan seberapa banyak porsi sebelum kenyang ini saat kita berhadapan dengan banyaknya makanan di depan kita. Untuk itu, ada beberapa hal yang dilakukan oleh orang-orang Jepang dalam aktivitas makan ini, selain untuk memberi isyarat ‘cukup’, juga menghargai segala bentuk hidup seperti makanan itu sendiri dan siapa yang membuatnya dari makanan yang telah tersaji di depan mata.

Setiap makanan yang dibuat di Jepang, telah melalui rangkaian proses yang sangat teliti. Saya coba lampirkan satu buah video dari YouTube tentang bagaimana tekunnya seseorang membuat Soba. Lihat betapa peramu itu mencintai betul apa yang ia lakukan.

Selain proses yang cukup panjang dan tekun makanan di Jepang kebanyakan disajikan dalam porsi-porsi yang kecil dan dibentuk sedemikian rupawan seperti sushi. Dengan begitu, kita dapat mengukur sebanyak apa makanan yang akan kita makan. Mengurangi jebakan kerakusan dari mengambil segala makanan begitu saja. Setelah terhidang, selain memanjatkan do’a, ucapan “itadakimasu” di mula hidangan dan “goshisousama” di penutup makan adalah bentuk ucapan terima kasih terhadap nyawa makanan yang ‘rela’ mematikan dirinya untuk disantap manusia juga terhadap seseorang yang sepenuh hati menyajikannya.

Ocha
Ocha, chado, upacara minum teh rumahan adalah salah satu upacara penting di Jepang. Saat-saat bekerja, akan selalu ada kompetisi dan terkadang tanpa kompromi. Namun ketika Erin-san melakukan upacara ini, segala ketegangan itu serasa terlupakan. Membuatnya menyadari bahwa manusia adalah bagian dari alam, dan juga memberikannya perspektif yang luas. Ada dua jenis upacara, chaji dan chakai. Chaji adlaah upacara formal yang memerlukan waktu yang panjang beserta hidangan yang lengkap. Sementara chakai adalah upacara yang lebih informal, untuk merayakan kebersamaan maupun sekedar menjadi penyegaran diri. Upacara ini memiliki 4 prinsip yang juga terintegrasikan dalam hidup, yaitu: Wa, harmoni bersama tidak hanya manusia, namun juga alam; Kei, penghargaan atas proses upacara, baik dari penyajian, alat-alat, dari proses yang dilaluiny; Sel, kejernihan, merujuk pada kebersihan dan runtutan yang jelas, menjernihkan diri dan jiwa, membentuk diri yang autentik dan transparan; Jaku, ketenangan, yang hanya dapat dicapai saaat 3 prinsip lain dijalankan dengan baik.

Memang, tidak semua memiliki kesempatan untuk menghadirkan upacara minum teh di rumah masing masing. Namun kita dapat selalu memberikan kasih dalam setiap seduhan minuman yang kita sajikan baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Onsen
Onsen adalah budaya mandi di pemandian air panas, tetapi dapat kita sederhanakan menjadi laku mandi saja. Karena, onsen memang hanya ada di Jepang, dan tidak mudah membuat hal serupa di tempat kita berada. Mandi bagi orang Jepang bukan sekedar membersihkan kotoran di tubuh. Merawat diri sendiri adalah bagian esensial untuk menjaga keseimbangan dan ketenangan. Biasanya, mereka mengambil mandi di malam hari sebelum tidur untuk melepaskan semua ketegangan tubuh di hari itu, tentu dengan air panas di setiap kamar mandi mereka. Mereka tidak biasa untuk mengambil mandi pagi, dengan alasan untuk menghemat air, dan tidak mengeluarkan letih saat tidur. Berbeda jauh ya dengan kita, yang harus mandi dua kali (dulu), dan tidak boleh mandi malam-malam karena ditakut-takuti akan terkena reumatik.

Mandi seperti mengingat-ingat saat-saat kita diselimuti air di dalam rahim. Membersihkan diri sebelum memasuki kolam air panas adalah hal yang wajib. Karena saat-saat di dalam kolam air panas adalah saat-saat untuk menghilangkan segala ketegangan yang telah dilalui hari ini. Ketegangan serasa ikut mengalir dalam setiap basuhan air yang melewati lekuk dan lipatan tubuh kita.

Let the past drift away with the water.
— Japanese Proverb

Shodo dan Sumi-e
Shodo adalah kaligrafi Jepang yang memiliki makna yang dalam. Kertas-kertas itu tidak akan memaafkan kita. Setiap goresan yang terjadi, akan terjadi begitu saja. Getaran tangan akan mengukir kuas yang menyapu kertas. Saya pernah mencobanya saat bersama Tugiman-sensei dulu di sekolah menengah. Hasilnya? Parah. Tidak mudah mengendalikan diri dalam satu tumpuan tangan saja. Shodo akan banyak mengajarkan diri untuk mencari keadaan tertentu untuk menyampaikan benak dalam kertas. Terdapat tiga jenis penulisan dasar dalam shodo, yaitu; kaisho (standar); gyosho (semi-kursif); dan sosho (abstrak).

Sementara Sumi-e adalah lukisan tinta kuas Jepang yang ditujukan untuk menangkap esensi dari jiwa sebuah objek lukis tanpa bergantung pada banyak tinta yang didapat dalam setiap sapuan kuas. Keduanya adalah upaya-upaya mengenali diri sendiri serta mencapai ketenangan batin dengan menyalurkannya dalam ekspresi tinta.

Bila tidak mudah menemukan media ini, kita bisa saja menggunakan kuas biasa dan tinta cat air. Posisikan diri dengan tenang, bernafaslah dengan baik, dan tuangkan emosi tanpa tendensi apapun dalam setiap sapuan yang terjadi.

Every brushstroke has a certain tension, a certein nervousness. Every brushstroke is, in a sense, some kind of an accident.
— Raphael Soyer

The Japanese Home
Bagian ini adalah bagian yang menarik untuk saya, selain guna memperkaya khasanah arsitektur dalam diri. Saya memiliki cita-cita untuk merancang rumah-rumah yang memiliki nyawa seperti rumah-rumah Jepang, maupun rumah-rumah tradisional di Indonesia. Karena, jujur saja, saya merasa rumah-rumah di negara kita serasa kehilangan nyawanya. Di tulisan lain mungkin akan saya bahas perihal ini.

Memori Erin-san tentang rumah pada ingatan pertama adalah tentang ubawaki, ruang antara untuk meletakkan alas kaki di depan pintu rumah. Ubawaki seperti gerbang yang harus dilalui ritual melepas alas kaki setiap harinya, dan terjadi salam hangat dari setiap penghuni saat datang maupun pergi. Seperti sebuah upaya menghormati rumah dan yang tinggal didalamnya. Di rumah Jawa zaman dahulu, kita akan mudah menjumpai ambang pintu yang lebih rendah dari tinggi badan. Hal ini hampir serupa dengan ubawaki yang membuat orang yang masuk merunduk dan menghargai rumah yang akan dimasukinya. Didekat ubawaki juga tersedia te-arai (tempat cuci) dan ugai (tempat berkumur) sebagai upaya membersihkan diri sebelum memasuki rumah, atau sekedar menyegarkan diri sesaat.

Rumah-rumah Jepang juga memiliki cukup banyak aksen perkayuan yang ditampakkan apa adanya. Hal ini berkaitan dengan wabi-sabi yang kita bahas di awal tadi. Selain itu, adanya Tokonoma (cekukan ruang) yang diniatkan untuk menjadi tempat bernaungnya kesenian Jepang seperti kaligrafi, bonsai, maupun ikebana. Frank Lloyd Wright menyamakan tokonoma seperti perapian dalam budaya barat. Dari tokonoma yang memberikan warna ruang, ditengah ruangan terdapat kotatsu (meja dan selimut penghangat). Kotatsu bukan sekedar meja biasa, namun meja yang digunakan untuk beragam aktivitas yang dilakukan bersama keluarga, menjadi meja makan, juga tempat menghangatkan diri di musim dingin.

Terdapat beberapa kunci dalam mengolah ruang arsitektur rumah-rumah Jepang. Salah satunya adalah ruangan yang dapat diubah-ubah. Seperti ruang tengah yang kadang digunakan bersama-sama keluarga menjadi ruang tidur ketika futon (kasur lantai) tergelar di malam hari. Mungkin, kebutuhan ruang ini memang tepat mengingat perlunya ruang yang tidak rumit saat evakuasi bencana yang dapat dirasakan setiap hari seperti gempa bumi hingga tsunami. Selain itu karena padatnya Jepang dengan banyaknya penduduk yang ada membuat ruang sekecil apapun itu menjadi sangat berarti. Kunci berikutnya adalah membawa dunia luar ke dalam rumah seperti membawa tanaman-tanaman maupun perangkat berbahan dasar kayu. Rancangan estetik Jepang sangat berkaitan dengan hubungan antara manusia dan alam sekitar. Kunci ketiga adlah membuatnya seminimal mungkin, bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Kita dapat belajar cara-cara menata ini dengan Marie Kondo, mungkin suatu saat akan saya tulis juga tentang buku beliau. Kunci terakhir adalah upaya-upaya bereksperimen dengan ruang, menata ruang untuk membuat diri bahagia.

Home is where you make it.
— Japanese Proverb

Shukanka — Membentuk Kebiasaan

Untuk menutup buku ini, Erin-san mengingatkan diri kita bahwa tidak mudah untuk membentuk kebiasaan. Perulangan, tekad, dan disiplin adalah hal-hal yang perlu kita pelajari. Saat kita membentuk kebiasaan, memang berat dan mengikat, namun kita jelas akan mendapatkan buahnya kelak. Hidup yang lebih tertata akan mempermudah urusan hidup kita yang lain. Bukan tentang membentuk hal yang sempurna, atau mematok standar yang kurang realistis.

Kita dapat memilih untuk menyesali apa yang terjadi. Kita juga dapat memilih untuk tidur seharian, makan makanan dengan rakus, menonton series berjam-jam. Namun apakah hidup itu yang akan kita lalui? Apakah diri kita bahagia?

Erin-san menambahkan pengingat bahwa segalanya tidak datang ujug-ujug. Perlu waktu, perlu dedikasi, bahkan keringat dan air mata dalam proses yang kita lalui. Ada dua strategi penting yang ia jelaskan, yaitu Kaizan (berubah untuk lebih baik), dan Shukanka (membuatnya lekat dengan diri).

Terimalah kegagalan-kegagalan yang akan terjadi, seperti berulang kali jatuh saat kita belajar berjalan. Membangun kebiasaan dapat dimulai dari hal-hal kecil dan laluilah bertahap. Tidak perlu bergesa-gesa. Serta menerima bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Naseba aru, if you take action, it will happern.
— Japanese Proverb

Meruya, 17.03
hari ke-3 Ramadhan
hari ke-55 setelah pasien COVID-19 diumumkan di Indonesia

--

--